Jakarta, CNN Indonesia

Jika Raden Ajeng Kartini punya warisan berupa buku kumpulan surat berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Presiden Joko Widodo tampak ingin menutup 10 tahun kepemimpinannya dengan ‘Habis Whoosh Terbitlah Kereta Cepat Jakarta-Surabaya’.

Kekuasaan Jokowi tamat pada Oktober 2024 mendatang. Dalam hitungan bulan jelang perpisahannya dengan 280 juta penduduk Indonesia, ada proyek yang ingin dikebut kepastiannya.

Melalui tangan kanannya, Luhut Binsar Pandjaitan alias LBP, Presiden Jokowi terlihat serius dengan megaproyek ini. Niat besar tersebut boleh jadi tak lepas dari klaim keberhasilan Kereta Cepat Jakarta-Bandung alias Whoosh yang beroperasi komersial sejak 17 Oktober 2023.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Luhut selaku ‘menteri serba bisa’ baru saja bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi. Menteri koordinator bidang kemaritiman dan investasi itu menjamu perwakilan Negeri Tirai Bambu dalam Pertemuan ke-4 High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI-RRT di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.

LBP memamerkan keberhasilan Whoosh yang disebut sanggup mengangkut rata-rata 15 ribu penumpang per hari dalam tiga bulan terakhir. Bahkan, pada puncak arus mudik lebaran 2024 penumpang Whoosh tembus 21.422 orang atau naik 34 persen.

“Oleh karena itu, saya harap Pemerintah Tiongkok, China Development Bank (CDB), dan China Railway terus memberikan atensi prioritas dan dukungan finansial, serta pengalihan teknologi pengoperasian KCJB,” tegas Luhut dalam keterangan resmi, Jumat (19/4).

“Kami mengusulkan pembentukan joint task force untuk percepatan proyek (Kereta Cepat Jakarta-Surabaya),” tambahnya.

Dua hari setelahnya, ‘Opung Luhut’ merilis video pernyataan di Instagram pribadinya. Ia menegaskan Indonesia-China sepakat membentuk tim percepatan proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya.

Memang, seberapa penting Kereta Cepat Jakarta-Surabaya dibangun?

Ketua Forum Transportasi Angkutan Jalan dan Kereta Api Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana menyambut keseriusan pemerintah merealisasikan proyek ini. Menurutnya, kereta cepat sedari awal memang lebih cocok untuk jarak 250 km-800 km dan menghubungkan dua kota perekonomian utama, seperti Jakarta-Surabaya.

“Namun demikian, rencana perpanjangan konstruksi dan operasional kereta cepat dari Bandung ke Surabaya tidak harus dilakukan secara tergesa dan serba instan,” ucap Aditya kepada CNNIndonesia.com, Senin (22/4).

“Melainkan harus dengan kajian yang matang dan komprehensif, terutama untuk faktor kajian potensi permintaan masyarakat alias demand serta kajian finansial dan pembiayaan,” pesannya kepada pemerintah.

Aditya berkaca dengan manuver Jokowi Cs dalam menggarap Whoosh. Ia berpesan agar sederet masalah dalam pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung jangan sampai terulang.

Ia menilai Whoosh digarap dengan kurang matang. Ada kajian yang kurang komprehensif serta pelaksanaan yang bersifat kejar tayang dan mesti dihindari dalam pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Surabaya.

“Karena hal ini berpotensi menimbulkan dampak, baik berupa finansial, seperti pembengkakan biaya yang signifikan dan kelayakan bisnis. Juga dampak teknis, seperti pengerjaan konstruksi (Whoosh) yang sempat berdampak pada faktor lingkungan dan keselamatan, seperti banjir di tol dan terbakarnya pipa bahan bakar minyak (BBM),” wanti-wanti Aditya.

MTI menyodorkan beberapa ceklis sebelum negara kembali menggandeng China untuk memulai proyek lanjutan kereta cepat. Mulai dari mengecek prasyarat kondisi, seperti pendapatan per kapita masyarakat, jumlah penduduk, kebutuhan mobilitas masyarakat, serta harmonisasi dengan prasarana angkutan yang ada.

Lalu, Aditya menyebut perlu ada kajian mengenai seberapa besar manfaat perekonomian dari keberadaan kereta cepat ini. Salah satu aspek krusial yang kudu diukur adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kawasan perekonomian baru di koridor Jakarta-Surabaya.

“Harmonisasi dengan infrastruktur dan moda transportasi itu yang krusial. Tidak hanya dengan kereta api jarak jauh, tetapi pemerintah sudah harus punya kebijakan yang jelas agar tidak terjadi disoptimalisasi moda,” ungkap Aditya.

“Sebagai contoh, pembangunan jalan tol diintensifkan, pembangunan atau revitalisasi bandara baru di Pulau Jawa juga terus ditambah, nah bagaimana dengan peran pemosisian kereta cepat ini? Itu yang harus dikaji dengan baik,” tegasnya.

Ia paham pemerintah punya harapan mengejar peningkatan mobilitas masyarakat. Aditya juga mengerti kehadiran transportasi super ngebut ini akan mengefisienkan waktu penumpang, dibanding naik KAJJ eksisting.

Di lain sisi, ada asa pertumbuhan ekonomi bisa terdongkrak. Begitu pula dengan upaya pembukaan kawasan ekonomi baru di sepanjang koridor rute kereta cepat.

Serupa, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang menilai kereta cepat lebih pas dibangun dengan rute ini, bukan Jakarta-Bandung. Deddy menilai jarak 147 km dari Stasiun Halim ke Stasiun Tegalluar tidak efektif.

“Kalau jarak pendek malah justru rugi, harga sarana KA cepat itu sangat mahal kalau hanya melayani 147 km. Baiknya, bisa melayani hingga 800 km, malah rugi bila melayani jarak pendek,” komentarnya.

Deddy meyakini proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, jika terealiasi, pasti menguntungkan. Setidaknya cuan akan diperoleh Indonesia setelah 30 tahun lebih moda tersebut eksis.

Ia menjabarkan hitung-hitungan mengapa rute Jakarta-Surabaya tepat untuk transportasi super ngebut ini.

Pertama, KA cepat tidak cocok untuk jarak 400 km-500 km karena akan mengganggu eksistensi bus antar kota antar provinsi (AKAP). Deddy menyebut bus AKAP merajai jangkauan tersebut, seperti rute Jakarta-Semarang, Jakarta-Yogyakarta, atau Jakarta-Solo.

Kedua, Deddy menilai ada moda transportasi lain ketimbang bus AKAP untuk jarak di atas 600 km. Menurutnya, masyarakat akan cenderung memilih pesawat udara dalam rentang di atas 600 km.

“Mengapa minimal 800 km (untuk kereta cepat)? Karena kita juga harus kurangi traffic perjalanan udara yang sangat padat saat ini antara Jakarta-Surabaya,” jelas Deddy.

“Untuk (perkiraan) biaya saya belum paham karena ada biaya politis. Seharusnya kini biaya per km-nya (pembangunan proyek) lebih murah karena kita hanya bangun infrastruktur saja, sarananya kita sudah punya,” tambahnya.







Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *